Sang Idola
Oleh : Kiai Ahmad Taftajani
Kalau anak baru gede (ABG) atau remaja ditanya tentang sosok idola mereka, jawabannya pasti beragam. Umumnya anak usia ini akan mengidolakan artis, hanya sedikit dari mereka yang mengidolakan orang tua atau guru.
Jika pertanyaan serupa diajukan kepada remaja yang usianya lebih matang, katakanlah mendekati dewasa, jawabannya nyaris seragam. Mereka akan mengidolakan tokoh masyarakat, ilmuan, negarawan, pemain sepakbola dan agamawan. Bahkan, lebih spesifik mereka akan menyebut Rasulullah SAW sebagai idola.
Jika remaja ditanya soal alasan mengidolakan seseorang, mereka pasti tak bisa menjawab. Idola dalam perspektif remaja bukan karena akhlak atau ilmunya, melainkan karena penampilan.
Tentu saja, pemilihan idola seperti ini sangat tidak sesuai dengan fitrah Islam. Mereka termasuk kelompok manusia yang disindir oleh Allah Swt dalam Alquran Surat Al Israa’ ayat 36.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Israa’ 17:36)
Dalam bahasa Inggris “idola” disebut “idol”. Menurut kamus Oxford, artinya “a person or thing that is loved and admired very much”. Dan bisa juga diartikan “a statue that is worshipped as a god”.
Terdapat hubungan di antara kedua arti tersebut. Yang pertama diartikan sebagai sesuatu atau seseorang yang sangat dicintai, dan yang kedua diartikan sebagai patung yang dituhankan. Namun, kedua-duanya dalam bahasa Arab bisa disebut sebagai “ilah”, artinya ialah sesuatu yang sangat dicintai, dipuja, dan dituhankan.
Oleh karena itu, terdapat pemahaman dari syahadat tauhid yang bermakna: Tiada ilah selain Allah, yakni tidak ada sesembahan yang patut disembah selain Allah.
Jika pertanyaan soal idola diajukan kepada generasi muslim, sepatutnya jawabannya seragam. Idola umat Islam adalah para nabi dan orang-orang saleh. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Dalam surat lain dikatakan, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (yang mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata” (QS al-Mumtahanah 60:4).
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari kemudian. Dan barang siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi terpuji.” (QS. Al-Mumtahanah 60:6).
Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah cermin bersih tentang manusia teladan sepanjang masa. Rasulullah SAW misalnya, adalah sosok yang selalu menawarkan pelayanan ketika berjumpa dengan seseorang. “Apa yang dapat saya bantu?” Itu adalah kalimat yang sering diungkapkan Rasulullah SAW bila bertemu dengan seseorang. Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu memuliakan setiap tamu yang berkunjung padanya.
Sahal bin Hanif r.a. menuturkan, Rasulullah SAW rajin mengunjungi orang-orang muslim yang lemah, menziarahi mereka, menjenguk mereka yang sedang sakit dan mengantarkan jenazah orang meninggal. Konon, jika dari para sahabat tidak terlihat dalam waktu tiga hari, Rasulullah SAW menanyakan kabar mereka.
Itu hanya sebagian kecil keteladanan yang dicontohkan seorang pemimpin besar yang wilayah kepemimpinannya tak terbatas dengan garis demografi. Dialah pemimpin umat yang kepemimpinannya tak terbatas dengan waktu dan tak mengenal periode.
Ibnu Umar menuturkan, setiap kali seusai Salat Subuh berjemaah, Rasulullah SAW menghadapkan wajahnya kepada jemaah. Beliau bersabda, “Apakah di antara kalian ada yang sakit dan perlu aku jenguk? Jika para sahabat menjawab “tidak ada,” Rasulullah melanjutkan, “Adakah ada jenazah yang harus aku antarkan?”
Demikian pula para sahabat, hidup mereka adalah cermin keteladanan sejati. Abdurrahman bin Auf misalnya, adalah sosok sahabat yang sangat dermawan. Ia menyumbangkan sebahagian besar kekayaannya untuk membantu kaum muhajirin saat tiba di Madinah. Karena hartanya habis, ia sendiri hanya memakai satu-satunya pakaian terbaiknya dan sepetak tanah untuk berteduh. Contoh keteladanan juga kita ketahui dari buku-buku sejarah tentang Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Sementara kisah keteladanan ulama tabiin pernah diceritakan Ibrahim bin Abdul Aziz Asy-Syithri. Suatu hari, ia sedang duduk berdua dengan Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Tengah asik ngobrol, seseorang meneleponnya untuk meminta fatwa. Bertepatan dengan itu, di masjid terdengar suara Adzan. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata kepada penelpon, "Mohon maaf, saya akan menjawab adzan dulu." Beliau kemudian meletakkan gagang telepon. Setelah selesai menjawab adzan dan berdoa, beliau melanjutkan pembicaraan dengan penelepon.
Mereka adalah teladan sejati umat Islam. Keteladanan mereka akan terus menerangi umat, laksana lentera bagi umat dari masa ke masa. Kalau bukan mereka, adakah manusia lain di bumi ini yang lebih pantas untuk diteladani? Wallahu a’lam.